May 14, 2025
Dilihat : 129 Orang
Oleh : Shintadewi Setya Duta, S.Psi
Pernikahan merupakan sebuah ikatan jangka panjang antara suami dan istri yang tidak hanya melibatkan aspek fisik dan sosial, tetapi juga emosional. Pernikahan bukanlah hubungan yang bebas dari konflik. Namun adanya konflik dalam pernikahan adalah menjadi hal yang wajar dan dapat menjadi sarana pertumbuhan jika dikelola dengan baik. Di dalam kehidupan pernikahan, setiap pasangan dapat menemui berbagai tantangan yang dapat menimbulkan stres, perbedaan pendapat, dan konflik. Dalam situasi – situasi tersebut peran regulasi emosi menjadi sangat penting. Pasangan yang mampu mengelola emosinya cenderung menyelesaikan konflik secara konstruktif, menghindari perilaku menyalahkan, dan membangun dialog yang sehat.
Salah satu prediktor keberhasilan pernikahan adalah bagaimana pasangan mengelola emosi negatif selama konflik. Menurut penelitian Ratnawati dan Rahmawati (2024) menunjukan bahwa kemampuan manajemen konflik dan kecerdasan emosi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pernikaha. Pasangan yang dapat menenangkan diri saat konflik cenderung memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dan risiko perceraian yang lebih rendah. Sebaliknya, ketidakmampuan dalam mengelola emosi dapat menyebabkan pola interaksi yang destruktif seperti saling menyalahkan, menghindari komunikasi, atau bahkan kekerasan verbal dan fisik. Oleh karena itu, kemampuan dalam mengelola emosi atau regulasi emosi menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan keharmonisan dalam hubungan pernikahan.
Regulasi emosi menurut Gross dalam (Wijayanti dan Fathiyah, 2023) merupakan serangkaian proses yang dilakukan oleh individu untuk membentuk, menyadari dan memahami bagaimana emosi dalam diri dapat terbentuk serta mengetahui cara untuk mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan. Dalam konteks pernikahan, regulasi emosi memungkinkan pasangan untuk menghadapi perbedaan dan konflik dengan cara yang lebih sehat dan konstruktif. Penelitian telah menunjukkan bahwa pasangan yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik cenderung memiliki kualitas hubungan yang lebih tinggi dan risiko perceraian yang lebih rendah.
Salah satu strategi regulasi emosi yang terbukti efektif adalah cognitive reappraisal, yaitu mengubah cara pandang terhadap suatu situasi agar terlihat lebih positif atau netral (Gross & John, 2003). Misalnya, saat pasangan lupa melakukan sesuatu yang diminta, individu dengan kemampuan reappraisal akan mencoba memahami alasan di baliknya sebelum bereaksi dengan marah. Pendekatan ini dapat meredakan emosi negatif dan membuka ruang untuk komunikasi yang lebih sehat. Strategi lain yang bermanfaat adalah self-soothing, yaitu menenangkan diri sebelum merespons suatu konflik. Teknik ini melibatkan praktik seperti pernapasan dalam, meditasi, atau mengambil jeda sejenak sebelum berbicara. Hal ini membantu menurunkan intensitas emosi dan mencegah terjadinya ledakan emosional yang bisa memperburuk keadaan (Laurent et al., 2019). Sebaliknya, strategi yang kurang adaptif seperti emotional suppression atau penekanan emosi secara terus-menerus justru berdampak negatif. Butler et al. (2003) menyatakan bahwa menahan emosi dalam interaksi sosial, termasuk dalam pernikahan, dapat meningkatkan stres fisiologis dan menyebabkan jarak emosional antar pasangan.
Dalam hubungan pernikahan, regulasi emosi juga membantu individu untuk lebih empatik terhadap pasangannya. Kemampuan untuk menenangkan diri ketika sedang marah atau kecewa membuat seseorang lebih mampu mendengarkan dan memahami perasaan pasangannya. Interaksi seperti ini memperkuat koneksi emosional dan meningkatkan rasa aman dalam hubungan (Laurent et al., 2019). Namun, regulasi emosi bukanlah kemampuan yang muncul secara otomatis. Faktor-faktor seperti pengalaman masa kecil, pola pengasuhan, dan stresor kehidupan dapat memengaruhi seberapa baik seseorang mampu mengelola emosinya. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan regulasi emosi melalui edukasi, terapi pasangan, atau praktik seperti mindfulness menjadi penting dalam konteks pernikahan.
Dengan demikian, regulasi emosi merupakan salah satu fondasi utama dalam menciptakan pernikahan yang sehat dan harmonis. Kemampuan ini membantu pasangan untuk menghadapi perbedaan dengan bijak, memperkuat keintiman, dan menjaga stabilitas emosional dalam jangka panjang. Keterampilan dalam regulasi ini bukan hanya berdampak pada hubungan, tetapi juga pada kesejahteraan individu secara menyeluruh.
Daftar Pustaka
Butler, E. A., Egloff, B., Wilhelm, F. H., Smith, N. C., Erickson, E. A., & Gross, J. J. (2003). The social consequences of expressive suppression. Emotion, 3(1), 48–67.
Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 348–362.
Laurent, H. K., Kim, H. K., & Capaldi, D. M. (2019). Emotion regulation and conflict resolution in romantic relationships. Journal of Family Psychology, 33(3), 275–285.
Ratnawati, D., & Rahmawati, N. Y. (2024). Hubungan kemampuan manajemen konflik dan kecerdasan emosi terhadap kepuasan pernikahan. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 26(1), 153-160.
Wijayanti, R. Y., & Fathiyah, K. N. (2023). Pengaruh regulasi emosi terhadap perilaku emotional eating pada mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Acta Psychologia, 5(2), 100-112.