Mar 27, 2024
Dilihat : 238 Orang
Oleh : CH. Widayanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Penelitian menunjukkan bahwa diskalkulia anak sekolah dasar mencapai dua sampai enam persen. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang mengalami diskalkulia sering mempunyai kekurangan neuropsikologis dan kognitif, termasuk prestasi yang buruk dalam mengolah ingatan, persepsi visual dan kemampuan visual spasial (Kauf-mann dalam Abdurrahman 2003; Shalev, 2004). Seorang anak mungkin memiliki kesulitan membaca dan matematika, serta terdapat defisit kognitif yang menjadi ciri khas kedua jenis kesulitan ini, seperti pengolahan ingatan yang buruk (Siegel, 2003). Sebuah studi terkini menemukan bahwa diskalkulia merupakan kesulitan belajar yang berlangsung lama atau terus menerus pada banyak anak; lebih dari separuh anak-anak masih mendapatkan nilai yang jelek dalam matematika ketika mereka sampai ke kelas lima (Shalev, Manor, & Gross-Tsur, 2005).
Pada beberapa kasus, pada bagian pemrosesan dan pengurutan, matematika memerlukan seperangkat prosedur yang harus diikuti dalam pola yang urut, hal ini juga berkaitan dengan kurangnya memory (memory deficits). Mereka yang mengalami kesulitan mengingat benda-benda/angka, akan mengalami kesulitan mengingat urutan operasi (order of operations) yang harus diikuti atau langkah-langkah pengurutan tertentu yang harus diambil untuk memecahkan soal-soal matematika. Dyscalculia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis (Budiantoro, 2019).
Penanganan diskalkulia dapat menggunakan terapi dan pendidikan remidial dengan tujuan untuk menyisihkan masalah yang dihadapi sehingga dapat membantu mencapai potensi anak secara maksimal. Terapi diskalkulia harus berdasarkan tingkat kesulitan atau defisit yang sesuai dengan usianya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani diskalkulia, antara lain: menggunakan gambar, grafik, atau kata-kata untuk membantu pemahaman anak. Pelajaran Matematika dapat dibuat menjadi sesuatu yang menarik dengan menggunakan media komputer atau kalkulator yang dilakukan secara kontinyu dan teratur. Diskalkulia dapat diterapi dengan cara mengubah pembelajaran supaya memori bisa hidup kembali, misalnya, penggunaan warna-warna yang melambangkan angka (Achyar, 2021). Pada umumnya anak dengan Diskalkulia mengalami kecemasan dan percaya diri yang rendah oleh sebab itu diperlukan teknik terapi yang sekaligus dapat mengatasi gangguan perilaku dan emosi yang umumnya ikut menyertai anak dengan Disleksia ini, salah satunya dengan menggunakan play therapy. Menurut pendapat Freud dan Erikson terkait play therapy (terapi permainan) memungkinkan anak mengatasi frustasi dan merupakan suatu medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konflik-konflik anak dan cara-cara mereka mengatasinya (Santrock, 1997). Bermain dapat meningkatkan daya pikir anak untuk mendayagunakan aspek emosional, sosial, serta fisiknya dan dapat meningkatkan kemampuan, pengalaman, pengetahuan serta keseimbangan mental anak. Sehingga pemberian intervensi dalam bermain dapat digunakan sebagai bentuk terapi.