May 14, 2025
Dilihat : 159 Orang
Oleh : Sandya Nimatus S, S.Psi
Komunikasi, menurut model klasik Lasswell (1948), adalah proses yang melibatkan lima komponen utama: siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan efek apa. Dalam konteks hubungan romantis, komunikasi tidak hanya menjadi alat tukar informasi, tetapi juga merupakan fondasi penting yang menopang kedekatan emosional, rasa percaya, dan keintiman antar pasangan. Tanpa komunikasi yang efektif, hubungan akan mudah terganggu oleh kesalahpahaman, penumpukan emosi yang tak tersampaikan, serta konflik yang berlarut-larut dan bisa merusak ikatan emosional.
Komunikasi yang efektif bukan hanya soal berbicara dengan jelas atau lancar. Lebih dari itu, komunikasi yang berkualitas melibatkan kemampuan untuk mendengarkan secara aktif, memahami perspektif pasangan, serta mengekspresikan emosi dan kebutuhan secara jujur namun tetap empatik. Ketika seseorang merasa didengar dan dipahami tanpa dihakimi, maka rasa aman emosional akan tumbuh, dan ini menjadi pondasi bagi terbentuknya kepercayaan serta koneksi yang kuat antara kedua belah pihak (Markman, Stanley, & Blumberg, 2010).
Gaya komunikasi pun memainkan peran penting dalam membentuk dinamika hubungan. Kreitner & Kanicki (dalam Dewi, 2013) mengklasifikasikan gaya komunikasi menjadi empat tipe utama. Pertama, assertive, yakni gaya komunikasi yang terbuka, jelas, dan bersedia untuk berkompromi demi mencapai kesepahaman. Kedua, passive, yang cenderung menahan pendapat dan menghindari konflik, meski hal ini sering menimbulkan akumulasi masalah. Ketiga, aggressive, yaitu gaya dominan yang menyampaikan pendapat secara keras dan kurang memperhatikan perasaan pasangan. Terakhir, passive-aggressive, sebuah pola komunikasi tidak langsung yang mengekspresikan ketidakpuasan melalui sarkasme atau manipulasi.
Joseph A. DeVito (dalam Liliweri, 1991) menyebutkan beberapa ciri komunikasi interpersonal yang efektif, antara lain keterbukaan—yaitu kemauan untuk jujur tentang pikiran dan perasaan sendiri; empati—kemampuan memahami dan merasakan sudut pandang pasangan; sikap mendukung—dengan menciptakan suasana aman dan tidak menghakimi; serta sikap positif yang menghargai diri sendiri maupun pasangan dan mendorong dialog yang sehat.
Meski demikian, hambatan komunikasi tetap menjadi tantangan utama dalam banyak hubungan. Gottman dan Silver (1999) mengidentifikasi sejumlah penghalang umum, seperti adanya asumsi dan prasangka yang menyebabkan kesalahan interpretasi, ketidakmampuan mendengar secara aktif, serta penggunaan bahasa yang menyudutkan, misalnya dengan kata-kata seperti "kamu selalu..." atau "kamu tidak pernah...". Emosi negatif seperti marah, kecewa, atau stres juga dapat mengaburkan logika dan mengganggu proses komunikasi.
Untuk mengatasi hambatan tersebut dan membangun komunikasi yang sehat, pasangan dapat menerapkan berbagai strategi. Pertama, gunakan pernyataan “saya” daripada “kamu” untuk menghindari kesan menyalahkan, misalnya dengan mengatakan, “Saya merasa kesepian ketika kamu terlalu sibuk,” dibanding “Kamu tidak pernah punya waktu untukku.” Kedua, latih kemampuan mendengar secara aktif, termasuk mengulangi inti ucapan pasangan untuk memastikan pemahaman. Ketiga, luangkan waktu berkualitas untuk berdiskusi tanpa gangguan. Keempat, kelola emosi sebelum berbicara agar komunikasi berlangsung secara rasional. Terakhir, ciptakan ruang keterbukaan agar pasangan merasa aman dalam menyampaikan perasaan dan kebutuhan mereka.
Jika komunikasi dalam hubungan sudah sangat sulit diperbaiki sendiri, maka bantuan profesional seperti terapi pasangan bisa menjadi solusi. Salah satu pendekatan yang dikenal efektif adalah Behavioral Couple Therapy (BCT), yang dikembangkan dari teori belajar oleh Skinner (1965). Pendekatan ini menekankan pentingnya penguatan perilaku positif serta pembentukan pola komunikasi yang lebih adaptif. Dalam perkembangannya, BCT juga mengintegrasikan pendekatan kognitif untuk membantu pasangan mengenali dan mengubah pola pikir negatif yang mengganggu hubungan (Fisher & Fink, 2014).
Pada akhirnya, membangun komunikasi yang efektif dalam hubungan romantis adalah sebuah proses jangka panjang. Dibutuhkan kesadaran, latihan berkelanjutan, dan komitmen dari kedua belah pihak. Ketika komunikasi berjalan dengan sehat, bukan hanya konflik yang berkurang, tetapi juga kedekatan emosional akan tumbuh, memperkuat fondasi hubungan yang saling mendukung dan penuh cinta.
Daftar Pustaka
Dewi, F. P. (2013). Gaya komunikasi pemimpin PT Fition yang dipimpin lebih dari satu pemimpin. Jurnal E-Komunikasi, 1(1).
Fischer, D. J., & Fink, B. C. (2014). Clinical processes in behavioral couples therapy. Psychotherapy, 51(1), 11–14. https://doi.org/10.1037/a0033823
Gottman, J. M., & Silver, N. (1999). The seven principles for making marriage work. Crown Publishers.
Lasswell, H. D. (1948). The structure and function of communication in society. In L. Bryson (Ed.), The communication of ideas (pp. 37–51). Harper and Row.
Liliweri, A. (1997). Komunikasi antar pribadi. Citra Aditya Bakti.
Markman, H. J., Stanley, S. M., & Blumberg, S. L. (2010). Fighting for your marriage: Positive steps for preventing divorce and preserving a lasting love. Jossey-Bass.
Skinner, B. F. (1965). Science and human behavior. The Free Press.