Aug 04, 2025
Dilihat : 313 Orang
Oleh: CH. Widayanti, M.Si., M.Psi., Psikolog
Belakangan ini, masyarakat Jawa Timur diresahkan oleh meningkatnya angka kriminalitas, mulai dari perampokan, pembunuhan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Fenomena ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga merupakan gejala psikososial yang kompleks. Sebagai psikolog, saya memandang bahwa akar perilaku kriminal tidak bisa dilepaskan dari struktur psikologis individu dan pengaruh lingkungan sosialnya.
Mengapa Seseorang Melakukan Kejahatan?
Dalam psikologi, tindakan kriminal dapat dimotivasi oleh berbagai hal. Frustrasi berkepanjangan, pengalaman masa lalu yang traumatis, ketidakstabilan emosi, serta dorongan agresi adalah beberapa pemicu yang umum. Teori Frustrasi-Agresi (Dollard dkk., 1939) menyebutkan bahwa ketika kebutuhan seseorang terhambat, terutama secara terus-menerus, agresi menjadi salah satu saluran pelampiasannya.
Di sisi lain, Abraham Maslow (1943) menjelaskan bahwa bila kebutuhan dasar seperti rasa aman, cinta, dan pengakuan sosial tidak terpenuhi secara sehat, individu bisa mencari kompensasi melalui perilaku yang menyimpang, termasuk kriminalitas.
Pelaku Kriminal: Produk dari Lingkungan atau Genetik?
Psikologi memandang perilaku manusia sebagai hasil interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Teori Belajar Sosial Albert Bandura (1977) menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat dipelajari melalui observasi terhadap orang lain. Artinya, anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, penghinaan, atau penelantaran berisiko meniru perilaku tersebut saat dewasa.
Sementara itu, dari sudut neuropsikologi, pelaku kejahatan berat kadang menunjukkan gangguan pada prefrontal cortex, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan kontrol impuls (Blair, 2001). Hal ini membuat mereka kesulitan menahan dorongan untuk bertindak impulsif atau agresif.
Psikopat dan Hukum: Dua Dunia yang Tidak Selalu Saling Mengerti
Tidak semua pelaku kriminal memiliki gangguan kepribadian, tetapi sebagian kecil tergolong psikopat. Menurut Hare (1991), psikopat ditandai dengan kurangnya empati, rasa bersalah, dan kecenderungan manipulatif. Mereka sering kali cerdas, menawan, tetapi sangat berbahaya karena tidak memiliki batas moral internal.
Dalam sistem hukum, psikopat menjadi tantangan karena mereka tidak mudah dikenai efek jera atau berubah melalui terapi konvensional. Oleh karena itu, pendekatan psikologis dan legal terhadap mereka perlu lebih cermat, khususnya dalam proses evaluasi risiko dan pemulihan.
Trauma Masa Lalu: Pintu Masuk Perilaku Kriminal
Banyak penelitian menemukan bahwa pelaku kejahatan memiliki riwayat trauma masa kecil baik berupa kekerasan fisik, pelecehan seksual, atau pengabaian emosional. Teori Attachment Bowlby (1969) menunjukkan bahwa kegagalan membentuk ikatan yang aman di masa kanak-kanak dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam membentuk hubungan dan mengelola emosi.
Tanpa penanganan, luka psikologis ini bisa menjadi benih gangguan kepribadian antisosial atau perilaku menyimpang. Oleh sebab itu, terapi psikologis berbasis trauma, seperti EMDR (Shapiro, 1989) atau CBT, menjadi sangat penting untuk membantu individu mengatasi dampak trauma sebelum berkembang menjadi tindak kriminal.
Pencegahan Sejak Dini: Kunci Memutus Rantai Kekerasan
Daripada menunggu seseorang jatuh ke dalam dunia kriminal, jauh lebih bijak untuk mencegahnya sejak anak-anak dan remaja. Pendidikan karakter, penguatan regulasi emosi, serta pengembangan empati adalah fondasi penting yang perlu ditanamkan sejak dini.
Teori Perkembangan Moral Kohlberg (1969) menyebutkan bahwa anak belajar menentukan mana yang benar dan salah melalui proses bimbingan dan pengalaman sosial. Di sinilah peran keluarga, sekolah, dan komunitas sangat menentukan. Dukungan yang konsisten dan penuh kasih dapat menjadi benteng yang kuat bagi anak-anak agar tidak terjerumus ke jalur kekerasan.
Rehabilitasi Pelaku Kejahatan: Antara Harapan dan Kenyataan
Psikologi forensik tidak hanya bertugas menganalisis penyebab kejahatan, tetapi juga merancang program rehabilitasi untuk membantu pelaku berubah. Terapi kognitif, terapi perilaku dialektis, hingga pendekatan restoratif adalah beberapa strategi yang terbukti membantu mantan narapidana merekonstruksi hidupnya.
Menurut meta-analisis Lipsey & Cullen (2007), rehabilitasi psikologis berbasis bukti dapat menurunkan tingkat pengulangan kejahatan (residivisme), asalkan dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Penutup: Memanusiakan yang Tersesat
Setiap pelaku kejahatan pernah menjadi anak kecil yang punya cerita. Bukan untuk membenarkan perbuatannya, tetapi untuk memahami bahwa kejahatan adalah gejala dari ketidakseimbangan psikososial yang lebih dalam. Oleh karena itu, pendekatan multidisiplin antara penegak hukum, tenaga kesehatan jiwa, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem yang bukan hanya menghukum, tetapi juga memulihkan.